JAKARTA — Harga minyak global terus menunjukkan tren penguatan dan mencapai posisi tertinggi dalam sepekan terakhir.
Kenaikan ini dipicu oleh meningkatnya konsumsi energi di Amerika Serikat serta ketidakpastian geopolitik akibat konflik antara Rusia dan Ukraina yang belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian.
Kondisi ini memberikan dorongan positif terhadap pasar energi global di tengah ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter Amerika Serikat.
Penguatan Harga Minyak Didukung Ketegangan Geopolitik
Harga minyak berjangka Brent naik US$0,80 atau 1,2% menjadi US$66,25 per barel, sementara minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat menguat US$0,82 atau 1,3% ke level US$62,55 per barel.
Kenaikan ini menandai posisi tertinggi sejak akhir September, di mana konflik Ukraina masih menjadi perhatian utama pelaku pasar.
Seorang diplomat senior Rusia mengungkapkan bahwa peluang menuju kesepakatan damai dengan Ukraina kini semakin menipis. Padahal, kesepakatan tersebut sebelumnya diyakini bisa membuka kembali pasokan minyak Rusia ke pasar global secara lebih luas.
Ketegangan geopolitik inilah yang kemudian memperkuat persepsi pasar terhadap potensi gangguan pasokan energi dunia. Rusia sendiri tercatat sebagai produsen minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat pada 2024.
Meskipun berada di bawah tekanan sanksi ekonomi, Rusia tetap berhasil mempertahankan tingkat produksinya, bahkan nyaris memenuhi kuota yang ditetapkan dalam perjanjian OPEC+, menurut pernyataan Wakil Perdana Menteri Alexander Novak.
Tekanan dan Dukungan terhadap Produksi Energi Rusia
Aliansi OPEC+ yang beranggotakan negara-negara pengekspor minyak termasuk Rusia, saat ini tengah menghadapi tantangan besar akibat serangan drone Ukraina terhadap infrastruktur kilang minyak Rusia.
Dalam dua bulan terakhir, serangan tersebut telah menekan kapasitas produksi dan ekspor energi Rusia, meskipun negara itu terus berupaya menjaga kestabilan pasokan.
Di sisi lain, keputusan OPEC+ untuk menaikkan target produksi hanya sebesar 137.000 barel per hari pada November mendatang dinilai sebagai langkah hati-hati dalam menghindari potensi kelebihan pasokan global. Kebijakan ini mendapat sambutan positif dari pasar yang khawatir akan kestabilan harga minyak dunia.
Sepanjang pekan ini, harga minyak tercatat meningkat sekitar 3%, menandakan bahwa pelaku pasar lebih fokus pada faktor permintaan dibandingkan potensi kelebihan pasokan. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa keseimbangan antara pasokan dan permintaan minyak masih menjadi faktor kunci dalam pergerakan harga global.
Permintaan Energi Amerika Serikat Dorong Optimisme
Selain faktor geopolitik, meningkatnya konsumsi energi di Amerika Serikat turut memperkuat kenaikan harga minyak. Administrasi Informasi Energi (EIA) mencatat bahwa total produk minyak bumi yang disalurkan yang digunakan sebagai indikator konsumsi melonjak menjadi 21,99 juta barel per hari, tertinggi sejak Desember 2022.
Lonjakan permintaan ini menunjukkan daya serap pasar energi AS yang tetap kuat meskipun terdapat lonjakan stok minyak mentah.
EIA juga melaporkan bahwa persediaan minyak mentah AS meningkat sebesar 3,7 juta barel dalam sepekan yang berakhir pada 3 Oktober, jauh di atas perkiraan analis sebesar 1,9 juta barel maupun estimasi API sebesar 2,8 juta barel.
Namun, pedagang lebih menyoroti data permintaan yang tinggi daripada kenaikan stok, karena menunjukkan sinyal positif bagi pertumbuhan ekonomi dan sektor energi.
Menurut Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group, “Data permintaan cukup kuat dan itu akan menjaga pasar tetap mendapat dukungan.” Pernyataan tersebut menegaskan bahwa konsumsi minyak di AS masih menjadi penopang utama harga minyak global di tengah berbagai ketidakpastian ekonomi dunia.
Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga The Fed Jadi Penopang Tambahan
Selain permintaan energi, ekspektasi terhadap kebijakan moneter Amerika Serikat juga memberi dorongan bagi pasar minyak. Investor memperkirakan Federal Reserve (The Fed) akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan 28–29 Oktober mendatang.
Langkah ini diyakini akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan aktivitas industri yang otomatis menaikkan konsumsi energi.
Risalah rapat The Fed menunjukkan sebagian besar pejabat menilai pasar tenaga kerja menghadapi risiko yang cukup besar, sehingga ada alasan kuat untuk menurunkan suku bunga.
Kondisi ini semakin diperkuat oleh situasi government shutdown di AS, yang menyebabkan sebagian data ekonomi resmi tidak tersedia dan meningkatkan ketidakpastian di pasar.
Dengan suku bunga yang lebih rendah, biaya pinjaman menjadi lebih murah, mendukung kegiatan produksi dan konsumsi energi. Hal ini menjadikan pasar minyak tetap optimistis meskipun terdapat sejumlah tekanan eksternal.
Secara keseluruhan, kombinasi antara tingginya permintaan energi AS, ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina, serta ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter AS menjadi pendorong utama kenaikan harga minyak dunia.
Meskipun tekanan terhadap pasokan masih ada, prospek jangka pendek harga minyak tetap positif karena pasar melihat adanya keseimbangan baru antara faktor risiko dan dukungan fundamental ekonomi global.